Siang itu di dalam kamar..

"Puteri, sekarang Jakarta gerimis, cepat sekali berubah, kayak hati. Semoga pengertian, mau saling mengalah, saling menghargai, saling menjaga, komunikasi yang baik, dan tentu saja yang paling penting pemahaman agama yang baik menyertai rasa sayang. Biar abadi sayangnya. Tidak seperti cuaca."

Tere Liye dalam Rembulan Tenggelam di Wajahmu (via kuntawiaji)

It's Not A Funny Story

Menemukan sebuah artikel yang ditulis sendiri oleh saya kira-kira setahun yang lalu. Artikel yang saya tulis ini dalam rangka memenuhi tugas ospek di Universitas Airlangga. Absurd. Ketika pada waktu itu saya telah menetapkan hati untuk hijrah ke ibukota demi melanjutkan pendidikan. Dengan kata lain, saya ikut ospek di kampus tersebut hanya karena iseng, cari teman baru dan selebihnya mengisi waktu luang sebelum saya berangkat meninggalkan Surabaya.
Artikel tersebut saya baca ulang. Cukup menarik, saya sendiri lupa bagaimana bisa saya menemukan ide yang cukup apik untuk menulis artikel tersebut. Terheran sendiri. Tak lupa saya cantumkan cuplikan lagu di akhir artikel yang saya tulis. Sebuah lagu yang cukup fenomenal bagi yang sering mengikuti paduan suara.



Winda Ayu Nugraini
041013244
Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Dari Kami Untuk Negeri

Tak ada kata yang pantas diucapkan pada negeri ini selain kata “Terimakasih”. Memang hanya itulah kata yang pantas diucapkan pada negeri tercinta ini Indonesia, karena Indonesia telah memberi sangat banyak kepada kita. Tanah yang subur, kekayaan alam yang berlimpah, hasil laut yang tiada duanya dan sumber bumi lainnya yang nilainya tak dapat ditukar dengan mata uang manapun. Selain itu, kita juga mendapat pendidikan yang berharga dari DIA, kehidupan yang aman, nyaman tanpa gangguan, keadilan yang dengan mudah kita perjuangkan, dan keadaan ekonomi yang membuat hidup kita semakin senantiasa indahnya.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kini mulai muncul ucapan “terimakasih-terimakasih yang lain” terhadap negeri ini.. Yang lain? Ya, contohnya, terimakasih korupsi, terimakasih kemiskinan, terimakasih kebodohan, terimakasih degradasi moral, dan ucapan terimakasih lainnya yang tak kalah “indahnya”. Apakah DIA yang kita puji-puji boleh merasa bangga dengan ucapan yang kita lontarkan padanya. Tentu saja tidak. Itu sama sekali bukan pujian, melainkan rintihan, keluhan  yang meminta DIA untuk “kembali” pada kondisi sebelumnya. Namun apa? Apa yang terjadi pada DIA yang melibatkan kita di dalamnya? Ya, kami, negeri Indonesia ini semakin terpuruk saja. Entah siapa yang salah, karena masing-masing pihak saling menyalahkan satu sama lain. Miris.
Heran. Ya, heran. Kita merasa heran dengan tingkah laku “orang-orang besar” di negeri ini. Mereka bukannya prihatin dan segera mengambil tindakan untuk memulihkan keadaan negeri. Tetapi, seakan-akan mereka malah seperti memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan mereka sendiri. Kami marah. Kami marah ketika melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil berebut kekuasaan, berkoar-koar mengumbar janji yang tak ayal hanyalah omong belaka. Mereka sama sekali tidak malu. Tertidur saat sidang, bermain BB, bahkan membuka sidang sendiri bersama rekan-rekan lainnya.
Di bidang pendidikan bahkan tak kalah memprihatinkan pula. Ribuan anak-anak Indonesia sekolah di bawah gedung yang tak beratap, gedung yang tak bertembok, bahkan ada yang belajar dalam keadaan berdiri. Hal itu akan menjadi salah satu factor pendukung mengapa begitu banyak anak yang putus sekolah. Tidak heran kan?? Padahal sebenarnya kami tidak bodoh, kami tidak terbelakang. Hanya saja keadaanlah yang membuat kami seperti ini. Banyak anak bangsa yang berhasil menorehkan tinta emas untuk negeri ini. Banyak anak bangsa yang berhasil  menciptakan berbagai karya yang patut diacungi jempol.
Kemiskinan seakan-akan semakin melengkapi penderitaan yang dialami oleh bangsa kita. Negara kita sudah 65 tahun merdeka dari penjajahan bangsa colonial, namun tingkat ekonomi kita masih kalah jika dibandingkan dengan Negara-negara yang umurnya jauh lebih muda dan wilayahnya hanya seperberapa bagian dari Negara kita. Harga bahan pokok yang semakin mahal, angka pengangguran yang semakin memuncak membuat kebanyakan rakyat kecil mengadu nasib ke negeri tetangga guna untuk mendapat pekerjaan yang layak. Bukannya lucu sekali ya?? Negara yang penduduknya malah “minggat” ke negara lain untuk bekerja, membuat kesan seperti negara tidak bisa memekerjakan mereka.

Lalu, apa ya yang membuat negeri kita menjadi seperti ini?
Hmm, sepertinya kita tidak perlu susah-susah untuk mencari jawabannya. Karena bukan jawabanlah yang harus kita cari saat ini, namun solusi. Solusi lah yang pantas kita cari sekarang sebagai generasi penerus bangsa. Inilah saat yang tepat bagi kita untuk membalas apa yang telah diberikan oleh negeri ini kepada kita, ya inilah saatnya.
Namun bagaimana? Kami masih pelajar, kami masih mahasiswa, dan tugas kami hanyalah belajar. Memang benar, kita masih pelajar, kita masih mahasiswa, dan tugas kita adalah belajar. Namun bukan berarti kita hanya diam saja meratapi nasib negeri yang semakin lama semakin tak jelas arahnya. Justru kitalah yang memegang kunci dari setiap gembok permasalahan yang dihadapi negeri ini.
Kira-kira, hal apa yang harus kita lakukan pertama kali? Tentu saja kita tidak melepaskan kewajiban kita sebagai seorang pelajar, seorang mahasiswa. Justru di usia yang produktif seperti kita inilah kesempatan untuk menuntut ilmu sangat terbuka lebar. Seperti kata pepatah “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Jangan pernah malu untuk bertanya, jangan pernah takut untuk menjawab. Ya, benar. Selagi kita muda, selagi kita masih sempat, galilah ilmu pengetahuan sebanyak yang kita mampu. Karena apa, itulah modal yang paling utama bagi kita untuk memperbaiki negeri kita ini. Tetapi, tentu saja hampa rasanya bila otak kita hanya dipenuhi oleh ilmu pengetahuan dan  rumus-rumus hapalan. Jenuh. Kita perlu mengukur kemampuan kita dengan para pejuang lainnya. Dengan mengikuti perlombaan seperti olimpiade, lomba debat, lomba di bidang budaya maupun seni, kita dapat menunjukkan kemampuan kita. Apalagi bila kita dapat menorehkan prestasi hingga ke tingkat dunia. Sungguh bangga bukan? Ini lho, kami anak-anak Indonesia, kami bisa.. Seperti yang diraih adik-adik kita yang masih duduk di bangku SD beberapa pecan lalu. Mereka berhasil menggondol 3 emas dalam kejuaraan Olimpiade Matematika di Singapore. Hebat bukan anak bangsa ini?
Lalu, apa lagi yang dapat kita berikan untuk negeri kita? Di usia kita yang masih muda ini, tentu saja masih sedikit ilmu yang kita dapat. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu kepemimpinan, ilmu keorganisasian. Dua hal itu sangat penting sekali dalam mengasah ujung tombak kita yang akan kita pergunakan untuk “perang”. Nantinya toh kita yang akan menggantikan posisi “mereka orang-orang besar”. Agar kita tidak seperti mereka, maka mulai sekarang belajarlah untuk benar-benar mengenali negeri ini, mencintai negeri ini. Namun, bagaimana bila godaan dan gangguan tak berhenti menerjang bila kita nanti sudah menjadi “orang besar”? Hmmm, kembali ke diri kita masing-masing. Ingatlah apa yang telah negara berikan untuk negara, sedangkan apa yang telah kita lakukan untuk negara? Belum kan?
Oleh karena itu, maka dari sekarang mari kita sama-sama belajar demi pembangunan negeri kita tercinta ini Indonesia..
***
Sinar mentari cantik berseri
Ada bangga lekat di hati
Semoga lestari semoga abadi
Doa kami dari anak negeri
Puji dan syukur kami berikan
Negeri ini tentram sentosa
Bangunlah semua satukan cita
‘tuk negeri tercinta Indonesia…
(Doa Anak Negeri)
You must think twice before you said it to me, dear Princess in your own Wonderland. Grow up, please.

21.41 dan 21.45

21.41
Ini bukan nomor togel atau apa.
Ini angka yang ditunjukkan oleh jam di layar ponselku.
Semacam kewalahan sendiri menuntun otak untuk mengerti apa yang dimaksud oleh Pak William Carter ini.
Bahasa Bapak yang terlalu tinggi atau otak yang tak kuasa dalam perhelatan konspirasi malam ini?


Nah. Sudah 21.45 saja.
Mengajak otak tenggelam lagi dalam dunia William Carter. Wish Me Luck :)

Hey, I'm Part of FeDex!

Masih belum jam duabelas, itu berarti belum saatnya untuk tidur. Mungkin ada yang sedikit mengomel di ujung sana bila mendengar statement saya di atas.
Sedikit bercerita tentang kegiatan di awal November ini, hmm, banyak yang menarik. Tentu saja.



Awal November.
Seperti biasa, disibukkan dengan jadwal kuliah yang mulai padat merayap. Akibat dari sering tidak masuknya dosen pada pertemuan sebelumnya. Membuat saya sedikit collapse dengan jadwal kuliah yang antiklimaks dan belum lagi tugas dari BEM yang tak enggan menyapa.

Menyinggung jadwal kuliah, tentu saja saya teringat dengan teman-teman saya, 2D Pajak yang notabene berisi teman-teman baru dari kelas sebelumnya.
Pada awalnya saya berekspektasi kecil. Karena masih kangen dengan kelas lama, yang bertambah keakrabannya menjelang kenaikan tingkat. Tapi ada yang berbeda di awal November ini.
2D Administrasi Perpajakan

Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
Tahun Ajaran 2011-2012
Berjumlah tiga puluh tujuh kepala; kesebelasan wanita dan sisanya pria.
Seperti yang sebelumnya saya katakan, saya berekspektasi kecil. Tapi, saya mulai menemukan chemistry dengan kelas ini. Bahkan, saya berani berekspektasi lebih sekarang.

Kelas yang mulai gaduh. Mulai terdengar teriakan di sana-sini. Tawa yang lepas dari sekelompok anak. Diskusi maupun debat antar bangku. Notebook yang digunakan untuk menonton film. Atau kartu UNO yang terjejer di bangku belakang.

Yahh.. Saya sangat suka dengan suasana ini. Dan ingin tetap begini tanpa ada yang terlewat satu pun. Itu doa saya malam ini. Tentunya kami akan sama-sama berjuang untuk menggapai cita-cita kami, membuat orang-orang yang kami cintai tersenyum. Cukup sederhana kan, Tuhan?

Insya Allah, kelas kami dapat membawa berkah ke depannya. Bukankah niat baik akan selalu diberi ridha olehNya?

Salam hangat selalu untuk 2D Pajak. Yuk kita berjuang bersama-sama :)

Pak!

Pak, saya gak minta apa-apa
Cukup temani saya berjalan
Bawakan juga lentera ini untuk saya
Dan tunjukkan kemana saya harus belok ketika ada persimpangan


Pak, saya gak nuntut apa-apa
Cukup doa seikhlasnya
Dan restu dari Bapak


Pak, saya gak ingin apa-apa
Cukup singkirkan kerikil di tengah jalan itu
Daripada saya terjatuh dan membuatmu repot


Pak, saya gak berani berjanji
Tapi saya niat ingsun kanjeng Gusti
Nyuwun pangestune nggih, Pak!

Oktober Dua Puluh Satu

Pukul sebelas tiga delapan, Oktober dua puluh satu
Langit-langit kamar; lemari coklat berpintu dua; tumpukan buku di atas meja belajar

Pukul sebelas tiga sembilan, Oktober dua puluh satu
Mug plastik hijau berisi penuh air; sebungkus mie instan di atas lemari; kerudung coklat yang disampirkan begitu saja

Pukul sebelas empat nol, Oktober dua puluh satu
Kalkulator yang tertelungkup di atas tumpukan buku; Kardus yang mulai rusak di bagian ujungnya; Exhaust fan yang dibiarkan menyala

Di sini; kuselesaikan minggu berat ini.
Deadline mengejar
Tugas menjerit ingin disentuh

Ah
Yang penting semuanya selesai
Aku menang kan?

Pukul sebelas empat satu, Oktober dua puluh satu
Aku ingin hari ini cepat besok!

Menjangkau Kesempatan

Ada saatnya dimana kesempatan itu dicabut. Dimana kita tak dapat lagi melakukan kesempatan-kesempatan yang biasanya ada di depan mata. Atau sekedar membuang waktu dengan melakukan hal-hal kecil dan sedikit konyol dengan orang yang kau sayangi. Dengan seiring bergulirnya waktu dan tanpa kita sadari, waktu dimana kesempatan-kesempatan itu mudah kita raih telah lenyap dari jangkauan kita. Perlahan retak, kemudian pecah dan berbaur bersama kerlap-kerlip lampu kota di malam hari yang indah bila kau pandang tanpa bisa memilikinya kembali.


Mungkin saat ini kau sering mengeluh karena terjebak macet di perjalanan mengantar keluargamu ke sebuah pertokoan. Sambil memaki dalam hati karena mobil di depanmu tak kunjung bergerak. Atau kau sedikit terganggu dengan ocehan mamamu yang menyuruh untuk segera mematikan laptopmu.
Semuanya tampak menyebalkan ketika hal-hal yang kita hadapi tidak berjalan sesuai dengan harapan kita. Rasanya hanya ingin bebas dan melakukan apa saja yang kita mau. Dan apalagi yang bisa kau lakukan saat itu kecuali mengeluh?


Namun suatu saat kau akan merindukan hal-hal yang dulu biasa dan rutin kau lakukan.
Menikmati sinar matahari pagi ditemani dengan segelas susu hangat dan roti gandum berisi selai coklat sebelum berangkat ke kantor; Kemacetan di tengah perjalanan mengantar keluargamu ke sebuah pusat perbelanjaan; Omelan mama yang menyuruhmu untuk segera berangkat tidur dan mematikan laptopmu; Atau sekedar menjemput kekasihmu pulang kuliah dan mengajaknya makan siang di sebuah depot di pinggir jalan.


Kau masih berada di Bimasakti, tapi kau sudah keluar dari lintasanmu. Membentuk lintasan yang lebih baru lagi. Menjadi sesuatu yang baru.


Maka dari itu, selagi kau masih dapat menjangkau kesempatan-kesempatan itu, lakukanlah. Sebelum waktu benar-benar merampasnya dari genggamanmu. Sebelum waktu mengurangi porsimu untuk bertemu dengan orang-orang yang kau sayangi.


*catatan di suatu senja yang disambut dengan penuh rasa syukur. Didedikasikan kepada seseorang yang sedang belajar untuk menghargai waktu.
Aku rindu pada hujan.
Rindu pada tiap tetes yang jatuh secara indah dari langit.

Aku rindu pada hujan.
Yang datang berbaur dengan senja
Membawa perasaan hangat bagi siapapun yang ada

Aku rindu pada hujan.
Yang menemani perjalanan pulang di kala sore

Aku rindu pada hujan.
Dengan segala aroma yang Ia bawa meluncur ke tanah

Hei hujan,
Maukah kau berkunjung barang sejenak?

Ini Masalah Waktu

Hidup itu hebat.
Kau tak perlu repot-repot mengaturnya sedemikian rupa, tapi hidup sendirilah yang akan menunjukkan jalanmu. Kemana kau akan melangkah setelah ini; apa yang akan kau lakukan terhadap sedcangkir kopi yang mulai dingin; apa yang akan kau lakukan terhadap sahabatmu yang patah hati. Hidup sendiri yang akan membawamu memilih putusan-putusan yang paling tepat, di saat kau harus memilih.


Hidup itu berurusan dengan waktu. Mereka sangat dekat, seperti Tuhan yang dekat dengan umatNya. Mungkin hidup bisa terlalu sadis padamu; memberimu sekodi bahkan seton pertanyaan yang tak mampu kau jawab hanya dengan membalikkan tangan atau hanya dengan melihat rumus logaritma di buku catatanmu.
Namun hidup seperti berkonspirasi dengan waktu, duet maut yang aku yakin dan berani bertaruhtak seorang pun ada yang bisa menebak ataupun menduga keberadaan mereka. Tetapi, ketika kau mempercayakan semuanya pada waktu, semua tanda tanya besar yang selama ini mendominasi pikiranmu akan terhapus. Meski sebagian orang bertuhan bahwa ada beberapa pertanyaan yang tak perlu jawaban.


Dengan begini, masihkah kau tak percaya dengan waktu?

Does Love Need A Reason?

Taken from kuntawiaji.tumblr.com


Lady: Why do you like me? Why do you love me?
Man: I can’t tell the reason, but I really like you.
Lady: You can’t even tell me the reason, how can you say you like me? How can you say you love me?
Man: I really don’t know the reason, but I can prove that I love you.
Lady: Proof? No! I want you to tell me the reason. My friend’s boyfriend can tell her why he loves her, but not you!
Man: Ok, Ok! Emm…because you are beautiful, because your voice is sweet, because you are caring, because you are loving, because you are thoughtful, because of your smile, and because of your every movements.

The lady felt very satisfied with the man’s answer. Unfortunately, a few days later, the lady met with an accident and went in comma. The Guy then placed a letter by her side, here is the content:

Darling, because of your sweet voice that I love you, now can you talk? No! Therefore I cannot love you. Because of your care and concern that I like you, now that you cannot show them. Therefore I cannot love you. Because of your smile, because of your every movements that I love you, now can you smile? now can you move? No! Therefore I cannot love you. If love needs a reason, like now, there is no reason for me to love you anymore. Does love need a reason? NO! Therefore, I still love you.

Cahaya yang Selalu Ada

Sore ini semacam random yang saya alami di hari keempat Ramadhan. Gelas hijau yang terisi penuh air; Blackberry di sebelahnya; bunyi kipas angin yang memenuhi kamar; sepi, sendiri. Ujian akhir telah selesai, ditutup dengan manis oleh mata kuliah SISMIOP yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 50 menit; ujian tercepat sepanjang sejarah perkuliahan saya. Hutang tidur pun telah lunas, setelah kurang lebih selama dua pekan, waktu tidur malam saya terganggu.






Lima belas menit yang lalu, Ibu menelepon. Saya rindu padanya, rindu pelukannya. Namun percakapan kami terputus oleh Adzan Magrib yang berkumandang di ujung telepon sana. Beliau berjanji untuk segera menghubungi saya lagi nanti.


Klasik. Seperti yang banyak dikatakan oleh orang, Ibu adalah wanita paling berjasa dalam hidup kita. Dan saya mengakuinya. Beliau selalu mengajarkan pada saya bagaimana cara bertahan hidup; menyongsong hidup; membawa hidup bersama kita lebih tepatnya. Beliaulah orang pertama yang mengajarkan kepada saya untuk tidak menangis hanya karena lelaki; yang sering terjadi di kalangan remaja-remaja wanita yang baru saja dicampakkan oleh pujaan hatinya. Karena menurut pendapat Beliau, toh masih banyak lelaki yang mau denganmu dan tentu saja tidak tega untuk membuatmu menangis. Itu favorit saya.
Dari hal yang paling kecil pun, seperti cara berpakaian. Ibu selalu mengomel ketika hanya memakai sandal jepit saja atau memakai baju serampangan sebelum keluar dari rumah.
Dan yang paling penting adalah, Ibu mengajarkan saya bagaimana cara untuk bertahan hidup. Bagaimana cara melawan orang-orang yang bertindak tidak adil kepada saya. dialah guru terbesar saya dalam hidup.


Dan sekarang, gelas hijau yang masih penuh isinya; bunyi kipas angin yang masih memenuhi ruangan; menanti Blackberry ini berdering, kabar dari ujung sana.
"Persahabatan memang obat sakit nomor satu"

Dalam "Akar" Supernova.
3 Agustus 2010
Pengumuman USM STAN 2010


3 Agustus 2011
UAS terakhir Semester II Administrasi Perpajakan

Is it a sign?

Jarak; A distance; Abstand


Jarak punya caranya sendiri untuk memberi kita waktu. Memberi kita ruang. Membuat kita melihat lebih jelas.
Terkadang kita perlu mendekat demi terekspos pada detail: derai hujan semalaman, aroma kopi yang tertinggal di udara, halusnya pasir dalam genggaman, pertemuan yang mendekati selesai, sebuah akhir. Terkadang kita perlu menjauh demi terpapar pada kenyataan: jalanan yang banjir akibat hujan seharian, cangkir kopi yang sudah lama kosong, sampah lengket yang menyangkut dekat garis pantai, kesempatan kedua, sebuah awal.
Tak mudah mengakrabi jarak. Ia hadir secara acak. Jauh-dekat hanya merupa garis-garis buram ketika dilewati dalam kecepatan maksimum. Ada saatnya kita tak tahu kapan harus menarik jarak, dan kapan harus melesak dalam. Ada saatnya kita tak tahu kapan harus memagari hati atau menitipkannya pada orang lain.
Tapi jarak adalah teman yang baik. Pelan-pelan, jarak mengajari kita bahwa sesuatu yang indah akan tetap indah, baik ketika dilihat dari jauh maupun ketika dilihat dari dekat.

time to release the balloons and watch them disappear again



Ketika kamu ingin melepaskan sesuatu, visualisasikan gambaran ini: ikatlah sesuatu yang ingin kamu lepaskan itu pada sebuah balon gas, kemudian lepaskan balon gas itu, dan saksikan ketika ia naik semakin tinggi ke langit dan akhirnya hilang dari pandanganmu.
Belakangan, saya merasa balon-balon saya mulai memenuhi ruang. Ia berceceran mulai dari kamar tidur, koper, kolong tempat tidur, meja belajar, jalan raya, sampai sudut hati. Jadi, malam ini, sudah saatnya saya melepaskan beberapa ke udara dan menyaksikan mereka naik, naik, naik terus… sampai hilang dari pandangan.
We can’t have everything we want. Dan saya masih belajar pelan-pelan, untuk bisa menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Sulit, memang. Dan mungkin masih akan selalu ada sedikit air mata yang tumpah. Tapi tak apa. Esok mungkin masih menawarkan kejutan-kejutan yang akan membuat saya tertawa bahagia.
Yang penting saya sudah menyediakan ruang. Ruang untuk balon-balon baru yang masih akan berdatangan dari waktu ke waktu.
Padahal saya sendiri benci menunggu. Tapi sudahlah, bukankah itulah prinsip waktu? Ketika kita menunggu, kita akan lebih menghargai makna kedatangan.
Jika namamu yang ditulis di Luh Mahfuz untuk diriku, niscaya rasa cinta itu akan Allah tanamkan untuk kita berdua.

You Are The Sunshine Of My Life


Pertama kali dengar lagu ini adalah ketika saya menghadiri Konser Paduan Suara Gita Smala angkatan di bawah saya. Kali itu Mas Bagus mengusung tema lagu-lagu cinta yang dikemas dalam nuansa Jazz. seperti tradisi sebelumnya, konser tersebut bertujuan untuk melatih mental (terutama) para PSGS-ers yang akan mengikuti kompetisi Festival Paduan Suara ITB.
Untuk pertama kalinya saya dengar lagu tersebut, keren, bagus. Saya langsung jatuh hati dan segera mencari apa judul lagu tersebut. Ternyata lagu itu memiliki judul You Are The Sunshine Of My Life yang dibawakanoleh Stevie Wonder.

Yah, Stevie Wonder, selain lagu I Just Called To Say I Loved You dan That's What Friends Are For. Yang paling saya suka dari lagu-lagu Stevie Wonder adalah nuansa Jazz-nya yang begitu kental dan unik yang dapat membuat pendengar tidak bosan mendengarnya. Selain itu liriknya pun juga cukup bagus.

Berikut video Stevie Wonder - You Are The Sunshine Of My Life yang dibawakan secara live.

http://youtu.be/uPyq4iqt6Go
















Dan kucing pun mengerti kalau Forehead Kiss itu sungguh romantis :)

Sebuah Renungan

Sebenarnya, alasan saya membuat sebuah postingan baru adalah hanya karena satu orang yang tiba-tiba membuat saya salah tingkah dan panik sendiri. Setelah dia mengabarkan kalau dia membaca salah satu postingan blog saya. Bukannya tidak suka, tapi saya malu, belum terbiasa kalau postingan dari kedua tangan mungil ini dibaca oleh khalayak umum. akhirnya saya memutuskan untuk menyamber si merah yang tak kalah mungil ini dan yah, menulis lagi.


Sebenarnya (lagi), saya baru saja pulang dari Makrab Kelas 1P yang berlokasi di Cisarua, Bogor. Dan ini merupakan makrab kedua sekaligus terakhir bagi kami penghuni 1P. Di perjalanan pulang menuju Bintaro, entah kenapa, mungkin ada malaikat berbaik hati yang duduk di samping saya sehingga tiba-tiba saya merenungkan diri sejenak. Mencoba berpikir kritis, menganalisis dan mengkaji semua yang terlintas di otak saya pada saat itu. Tiba-tiba saya berpikir dan saya heran, kenapa masih saja ada orang yang tidak bersyukur atas segala anugerah, berkah dan rahmat yang telah diberikan oleh Allah kepadaNya.


Anugerah bagi saya sangatlah luas cakupannya. Pertama, anugerah bagi saya adalah keluarga, siapa sih yang tidak ingin memiliki keluarga yang utuh dan bahagia? Saya rasa tidak ada.
Teman, pendidikan, karier, cinta juga merupakan anugerah di mata saya. Tentu saja saya tidak dapat hidup tanpa hal-hal tersebut. Bisa, namun sulit sekali untuk bertahan. Selain poin-poin yang sudah saya sebutkan, kecantikan dan prestasi baik akademis maupun non akademis juga termasuk anugerah bukan? Ya, menurut saya. Jarang lho, orang cantik yang menyadari kalau kecantikannya itu merupakan anugerah. Malah terkadang mereka tidak bisa menggunakan dan menjaga anugerah tersebut dengan baik.
Lalu, yang saya herankan adalah, kenapa orang-orang yang notabene memiliki semua atau beberapa hal yang telah saya sebutkan di atas tersebut tidak dapat atau mungkin belum bisa menghargai, menjaga, mensyukurinya?
Kenapa masih saja ada orang yang iri akan jatah anugerah milik orang lain?


Bukannya munafik. Jujur, saya juga pernah merasakan hal-hal tersebut. Terkadang kita sebagai manusia, tidak dapat mengukur tingkat kebahagiannya sendiri. Saya pernah merasakan juga, pernah sirik kepada orang lain yang tingkat kebahagiannya jauh di atas saya. Namun lama kelamaan saya sadar, saya ingat bahwa semuanya telah diatur sedemikian indah oleh yang Maha kuasa. Belum tentu apa yang membuat bahagia Si A dapat juga membuat bahagia Si B dan begitu pula sebaliknya. Dan akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa,  tiap-tiap manusia bahagia dengan jalannya masing-masing. Mereka telah digariskan untuk bahagis dalam konteks dan paradigma mereka masing-masing.


Oleh karena itu, bersyukurlah. Karena dengan bersyukur kita dapat lebih memaknai dan menghargai hidup ini.


NB: Penulis juga sedang dalam proses untuk selalu melafalkan kalimat syukur dalam setiap harinya. Mari kita bersyukur :)

Sejenak teringat Fisika, Biologi dan Kamu.

Kita adalah semacam bioluminescence dalam garis-garis kehidupan yang saling bersilangan. Kadang cahayamu remang, cahayaku terang. Atau sebaliknya. Dalam gelap, kita saling mencari secercah masing-masing. Memicingkan mata pada rindu yang membuncah dan membuat kita resah.

Aku bergerak secara oscillasi menujumu. Cinta kita adalah semacam polarisasi optik terhadap silang emosi yang tarik-menarik. Semua yang indah akan nampak seperti titik-titik cahaya yang kau lihat dari balik pelupuk mata yang basah. Semuanya seperti pecah sekaligus rekat. Seakan jauh sekaligus dekat.

Kita tunduk pada hukum Snellius: seperti sudut datang dan sudut bias pada cahaya yang melalui batas antara dua medium isotropik berbeda. Kamu. Dan aku. Di tengahnya, ada kita.


NB: Penulis terinspirasi karena sedang mengalami kerinduan yang sangat akut terhadap dua mata pelajaran tersebut.

Menutupi, Tersembunyi.

satu masa , berputar dalam relung ruang.
tanpa titik henti . mungkin akan selalu seperti itu .

pernah mencoba untuk berhenti, tapi tidak berarti .
oke, saya melanjutkan perjalanan tanpa kepastian ini.

menapaki langkah demi langkah . mencari butir-butir makna yang bersembunyi .
bersembunyi dibalik riuhnya kondisi .

aku mencoba mengikutimu .
mengendap-endap di balik bayanganmu .
tapi kamu menghilang . aku gagal .
mungkin kali ini lebih tenang . sudah faham .
akan ada yang lebih bergejolak . mungkin . nanti . tak tau .

entah . entah . entah .
hanya kamu yang bisa menghentikan .
aku hanya berperan . tak akan pernah segan .
tak akan pernah lelah untuk mengejarmu .
mengejarmu dengan caraku .
caraku yang hanya berani bersembunyi dibalik rasa . tanpa terucap kata .

hei! aku menikmati senyumanmu .
aku mengagumimu . tanpa kamu tau .
unik , memang :[

aku menunggumu . menunggumu menghentikan aku yang masih berlari .
mencari ruang kosong dihatimu .
menunggumu memberi titik henti dalam perjalananku .
perjalanan tanpa kepastian ini .
kepastian tanpa tuntutan . itu hatimu .
aku menunggu . disini .
ditemani kondisi yang siap menertawakan .
mungkin akan selamanya seperti ini . mungkin . tidak tau .



Penyair muda berbakat yang saya kagumi, Oki Erwina Pianisia.

Lagi

Malam ini bulan tak tampak
Tega membiarkan langit hitam kosong
Bintang pun enggan datang
Dan langit benar-benar hitam kosong
Ah, mungkin bulan sedang marah
Hingga tak mampu menemani malam
Lalu,
bagaimana dengan Bintang?
Bintang pun mengalah
Ia takut sinarnya tak indah
Tak seindah ketika bersama Bulan
Bintang menunggu,
Menunggu Bulan untuk bersinar bersama,
lagi ..

Dua Tiga Belas

Tiga belas yang ini, beda
Tidak seperti yang orang katakan
Tiga belas itu sial
Tiga belas itu pembawa petaka
Entah apa itu trikaidekaphobia, atau paraskevidekatriphobia
Ah, sudahlah!
Mereka semua muak dengan tiga belas
Iya, muak!
Tapi,
Tiga belas yang ini, indah
Tiga belas yang ini, istimewa
Tiga belas yang mampu mengukir senyum untuk tiga belas lainnya
Ya,
ada tiga belas yang lain
Dua tiga belas yang entah tuli atau pura-pura tak peduli
Terserah apa yang mereka katakan
Karena dua tiga belas itu percaya
Di antara satu dan tiga
Ada dua
Dua yang saling melengkapi

Anak Udik di Ibukota Part 3

Dan ini sepertinya bagian akhir dari tulisan gue "anak udik di ibukota". Jujur aja sebenernya males nulis, tapi kok kayaknya nggantung kalo ditingggalin gitu aja. Ceritanya masih banyak, haha.

Jadi, singkat cerita aja ya, intinya kita memberanikan diri untuk berpartisipasi dalam acara Food Tasting Festival (baca: makan gratis). Intinya kami makan gratis, makan ampe gila kayak gak pernah dikasih makan enak bertahun-tahun, okeh bayangin sendiri.
Ya namanya anak udik yang dapet makanan gratis, kita tuh berasa kayak abis kejatuhan durian montong yg guedee banget. Rejeki banget kita bisa nemuin festival itu, padahal niatnya mau sholat Ashar, ketunda deh setengah jam.

Setelah asik ngisi perut, kami gak lupa buat mengucap syukur pada-Nya. Oke, kita langsung capcus nyari musholla. Lumayan sulit juga sih, soalnya GPS kita udah pulang duluan. Tapi kita punya inisiatif dong buat tanya ke Pak Satpam. Nemu deh tuh musholla, akhirnya kita solat Ashar, tanggung waktunya, kita tunggu Magrib sekalian di sana.

Abis Magrib-an, kita pulang. Naik busway trus lanjut naik taxi dari Blok M, waktu itu langit udah gelap banget. Gue paling menikmati pemandangan kota Jakarta pas gue lagi di atas jembatan layang. otomatis gue bisa ngeliat kerlap-kerlip lampu Ibukota dari atas, bagus banget. Mungkin itu alasan yg dibuat para fotografer mengabadikan momen-momen indah itu di atas jembatan layang. Sayang aku gak bisa ambil gambarnya :")

Inti yg bisa gue ambil dari perjalanan gue hari itu adalah, gue lihat Jakarta yg sesungguhnya. Dimana setiap kamu lihat sekelilingmu adalah makhluk-makhluk ber-BB ber-behel dan ber-ber lainnya. Dan gue lihat itu sendiri, setelah beberapa bulan lalu gue cuma denger hal itu dari mulut seorang temen. Oh, ini ya Jakarta, dimana bocah tengil yg ngomong aja masih belum fasih udah pegang BB, bahkan nutul-nutul apel growak. Oh My..
Kalo di Surabaya, gampang banget bedain org Jawa sama nonJawa. Kamu cari aja yg make bajunya gak bener, itu pasti bukan Jawa. haha. Gak gitu juga sih. Jalan jalan di Mall-mall Jakarta cuma bikin lo ngiri kalo lo gak punya duit, liat kiri liat kanan orang-orang pada modis dan cantik. Bandingin aja sama gue yg asal comot baju, haha.

Yak, itulah secuil pengalamanku di ibukota. Mungkin lain waktu aku bisa sharing lagi.
(hmm, lagi gak mood nulis) -________________-

Anak Udik di Ibukota (Part 2)

Akhirnya gue jadiin 2 part aja, udah kyk film aja deh, krik.

Kita akhirnya antre. Jadi, Magnum Cafe punya dua antrean, satu antrean for Take Away, satunya lagi for Dine In. Awalnya kita tuh ngira yg antreannya ngujubile gilanya tuh antrean yg for Take Away. Eh ternyata, kenyataan emang selalu pahit ya, hiks. Justru lebih gila antrean yg Dine In. Hmm, ternyata masih banyak orang normal di sekeliling gue lah.
Kira-kira sejam kita antre. Sedihnya, dandanan kita mulai luntur termakan oleh kringat dan peluh ini. Tince yang tadinya semangat banget, udah mulai lesu dan gak kedengeran "Cyiin" nya. Pojoh yg tadinya tebar pesona sana sini berharap ada yg mohon-mohon minta tandatangan sudah mulai menekukkan wajah. Melly yg tadinya sibuk moto-moto udah mulai ngucapin "Y U No Y U No move oooonnnn" dan aku sama Sandra mulai gerah dan berusaha mbuka jilbab *lhoh?

Tapi, selama di antrean, ada beberapa hal yg cukup menarik. Jadi, kita disusun dalam suatu barisan yg dibatasi oleh garis apalah namanya. Tiap beberapa menit sekali ada Kakak cantik menggunakan gaun yg senada dengan warna Ice Cream datang ke antrean dan berkata:
"Ada yg dua orang? Dua Orang?", sambil menyibakkan rambutnya yg indah (sumpah iri deh akyuu TT )
Selain itu, kita juga dihibur dengan pemandangan makhluk-makhluk yg telah berhasil melewati rintangan antrean yang kini menikmati tiap gigitan Magnum. Uwooooo, whatalife!

Akhirnya sejam berlalu, SEJAM. Kita akhirnya bisa masuk, HORE!!
Girang banget deh.
*

Setelah membolak-balik buku menu, yang intinya kita bingung mau pesen apa. Tapi, gimana-gimana kita harus milih mau pesen yg mana, karena inti dari hidup adalah memilih. :haha
Sandra, Pojoh dan aku memutuskan memesan salah satu menu yg bisa dibilang paling "wah" disana.
Yap, Jewel Crown! Menu yang berbandrol 55ribu ini memang terlihat paling WOW di antara menu lainnya. Ya gimana gak WOW, orang bentuknya paling gede gitu. Mantep lah pokoknya.
Mirisnya, kita berlima pada gakpesen minum. Bukannya pelit, tapi gak tega aja minum air mineral yang harganya 8ribu segelas. Gak tega banget hihi :p

Akhirnya setelah menunggu beberapa menit. pesenan kita berlima datang. Nyanyanyaaa~
Saatnya menikmati Magnum..
Sebelumnya sih, kita foto-foto dulu sama tuh EsKrim, duh udik banget yak?

Sekitar 1jam kita menikmati hidangan masing-masing, kita memutuskan untuk cabut. Yuk, lanjut lagi.
Dan syoknya gue, antrean for Dine In makin parah aja gelaaaakk.. Gue gak mbayangin deh kalo gue ada di barisan paling belakang dan mesti nunggu berjam-jam buat masuk ke tuh kafe. Ya Allaaaahhh, gue bersykur banget udah bisa masuk dan ngicipin menu di situ.

Oke lah, kita cao. Jalan-jalan menelusuri foodcourt yg ada di situ. Gue akuin emang arsitekturnya hebat banget bisa ndesain kayak gitu. Jadi, tiap lantai memiliki tema dan gaya tersendiri. Ada yg bertema Chinesse, ada juga yg bertema Pop Art, sampe sampe di pintu toilet cewek ada foto Marylin Monroe. haha.


Waktu itu jam udah menunjukkan angka satu, waktunya sholat Dhuhur. Kita berempat sholat dulu. Yg gue seneng dari musholla dan toilet di mall-mall Jakarta adalah: BERSIH dan GRATIS.
Gue sebel sama mall di Surabaya, udah ditarikin duit, ya gak mahal sih, cuma seribu doang, tapi kan lumayan buat beli pempek abal-abal hehe. Dan belum tentu toiletnya bersih. Bersih di sini maksud gue, bersih dalam arti sebenernya dan ada airnya, capslock ADA AIRNYA. Ya seenggaknya kalo emang males nyediain air ya paling nggak sediain tissue lah, masa gak cebok sama sekali? -_________-
Yang kedua, mushollanya. Musholla di Jakarta tuh eksklusif banget. Bersih, luas dan ada penjaga yg buat nitipin sepatu gitu, dan yang pasti bisa nyewa mukenah dan mukenahnya gak bau.
Ya gimana ya, namanya kan juga tempat ibadah, mestinya harus dirawat dengan baik. Biar yg ibadah tuh makin rajin ibadahnya, haha. Kalo tempat buat sholat aja kotor, males kan mau sholat..:curhat

Lho kok jadi ngomongin toilet sama musholla?
Oke deh balik ke Grand Indonesia.

Selesai sholat, kita memutuskan untuk cari makan (gratis). Ya gini ini ya, namanya orang udik yg berusaha g4ho3L, mau makan aja ribetnya seperempat mamfus. Muteeer aja gak selesai-selesai. Awalnya kita mau makan sushi, berhubung kita tahunya sushi dengan harga terjangkau hanyalah sushi tei, oke kita cari.
Cari cari cari.. Di West mall gak ada, oke lah tembus sampai East Mall, juga gak ada.
Akhirnya lama-lama kesel juga deh, ujung-ujungnya gue beli Doner Kebab! F*ck yeaa.
Jauh-jauh ke GI cuma beli DK T________T

*


Perut kita berlima kayaknya udah penuh dengan makanan yg kita santap tadi. Kami (terpaksa) melanjutkan perjalanan tanpa Pojoh karena dia mesti manggung di Gereja (nah lho). Nggak, jadi si Pojoh ada Gereja jam 5 sore, jadi dia mesti cabut duluan.
Berempat doang. Lanjut ke Plaza Indonesia.
Yap, kita berempat lanjut ke Plaza Indonesia yang tinggal nyebrang aja kesananya. Gak beda jauh juga sama GI yg dipenuhi dengan toko-toko mewah yg pasti harga jual barabg-barangnya jutaan ngujubile. Okey, great, gue mupeng. Kapan ya Zara dan LV jadi tempat langganan belanja bulanan gue?
"Bisa kok Em, bisa kok. Pasti beberapa tahun lagi lo bakal mborong tas dan sepatu dari LV"
Tuh hati kecil aku yg bicara. Tapi aku yakin kok, suatu saat nanti aku bakal keluar masuk LV, Zara dan antek-anteknya. HAHAHA.

Kalo anak udik ke mall-mall gede, ujung-ujungnya gak bakalan beli apa-apa. Emang gitu kan? Lagian, apa coba yg bisa aku beli dengan isi dompet yg mengenaskan ini? Paling cuma makan doang sih, itupun makanan dengan harga yg "waras" buatku. Kita cuma muter-muter di PI, liat-liat ada apa aja di sana. Dan sempet masuk ke aksara, liat-liat buku,liat-liat barang-barang aneh yg dijual dengan harga yg "gak wajar".
Iya, bagiku itu gak wajar. Kenapa notes yg kegunaannya cuma buat nyatet dan akhirnya dibuang kalo habis bisa berharga 150.000? Kenapa bolpen yg cuma buat nulis dan tintanya gakbisa di-refill harganya bisa 45.000? Jadi kesimpulannya, kalo ke aksara, ngeliat barang yg lucu-lucu dan emang lo gak niat beli barang itu, gak usah nengok harga barang itu berapa. Dijamin :matabelo deh --"

Dan gue heran, kenapa Tince beli Reader's Digest. Yg gue tahu, majalah itu cuma buat pas pelajaran Bahasa Inggris doang. Kan matkul Bhs Inggris udah abis, nah ngapain Tince beli itu?
Itu gue herannya, nih anak emang bule banget. (gak nyambung ya?)

Waktu itu udah sore, udah jam 5 dan kita belom sholat Ashar. Kafir banget kesannya.
Oke deh, kita mutusin buat cari musholla. Karena kompas kita udah pulang duluan (baca: Afgan KW 13), kita agak bingung nih dimana letak musholla.
Well, kita asal turun eskalator aja, punya feeling kalo musholla ada di bawah. Yap yap.
Kita turun turun.. Hmm, dimana ya??
Gak nemu-nemu..
Dan ketika kita di lantai berapaa gitu, kita nemuin sekelompok orang lagi beramai-ramai. Dan otomatis kita berempat heran. Seperti kata peribahasa, "Dimana ada gula, pasti ada semut"
Kita pun menghampiri keramaian tersebut. Yang pertama gue lihat, ada beberapa meja dengan makanan di atasnya. Hmm, makanan, makanan.
"Eh, ada apaan tuh? Makan-makan yak?"
Mungkin telinga kita udah peka kali ya sama kata "makan-makan" , langsung aja kita berhenti, merhatiin orang-orang itu. Dan kita juga sempet denger:
"Ayo silahkan daftar saja dan anda langsung dapat kupon untuk makan gratis disini"
"Eh gratis lho.."
"Seriusan?"
"Baik banget ngasih gratisan, coba yuk"
"Ah kamu aja dulu yg coba, beneran gratis?"
Aku dikit ragu, takutnya ntar udah makan, eh ujung-ujungnya ditarikin uang.
Oke lah, akhirnya kita nekat, yo iki jenenge arek Suroboyo, nang endi endi kudu nekat, HAHAHA


Anak Udik di Ibukota (Part 1)

Ini hari Senin (anak TK aja ngerti lah kalo hari ini hari Senin) --a

Nggak, gue mau cerita sedikit soal long journey gue kemarin *halah.

Jadi, begini ceritanya..
Waktu itu hari Jumat, dan aku sedang terjebak dalam keramaian orang-orang yang meraung-raung minta makan (baca: syukuran Himasurya 2011). Ya ngertilah, sebelum acara "utamanya" dimulai, pasti ada sambutan ini itu, biar berasa resmi aja. Di tengah keributan hiruk pikuk arek-arek suroboyo, tiba-tiba datang sekelompok anak yang aku kenal, yap, Melly, Icha dan satunya lagi gue lupa. Melly langsung sendu aja di sebelah gue.

Perut mulai lapar, gue yang notabene sengaja mengosongkan perut demi nasi tumpeng gratisan mulai bete dengan segala keributan yang semakin menjadi-jadi. Apaan sih ini? Mana tumpengnya? Keluarin woi!
Bonita gue keluar.
Makhluk hidup di sebelah kanan gue tiba-tiba nyeletuk, "Eh, Su, diajak Tince ke Magnum Cafe tuh"
Agak butuh waktu lama untuk mencerna kalimat di atas.
"Magnum Cafe, Magnum Cafe, it means.. Grand Indonesia, GRAND INDONESIA"
Ya gimana ya.. Aku, yg notabene tinggal di Bintaro yg notabene masih desa meskipun Jakarta, yg notabene mallnya cuma ada satu. Excited banget.
"Eh mau dong aku ikutaan.."
"Yo ayo, tapi aku gk tau jalannya dan naik apa kesana.."
Gue diem lagi, mikir lagi.. Grand Indonesia itu di Bunderan HI, itu di pusat. Gila aja kalo dari PJMI ke GI naik Taxi. Jebol lah dompet kita. Tiba-tiba gue ingat salah satu temen gue yg ngerti daerah sini sampe-sampe gue sebut "Kompas" kalo gak ya "GPS", yap! Dia adalah makhluk Tuhan yg memiliki akun twitter @chrispojoh , peranakan Palembang dan Manado yg agak sedikit mirip dengan Afgan (pasti lagi kegigit noh lidah dia).
Singkat cerita, gue sms dia, tanya ke dia. Belum sempet gue bales smsnya, eh dia sms lagi.
"Eh mau doong ke GI, ikutaaaan..."

Singkat cerita (lagi) akhirnya jam 10 pagi kita (Tince, Melly, Sandra, Pojoh, aku) berangkat. kita ketemuan di  GKI. Setelah kumpul, kita naik Taksi. Taksi Express lah, udah langganan, paling pewe lah buat anak kos macem kita.
Di perjalanan gue udah mbayangin yg nggak-nggak tentang Magnum Cafe. Kayak apa ya disana, asik gk yaa? Enak gak ya?
Akhirnya, sekitar sejam di taksi, kita sampe di Blok M. Kita nglanjutin perjalan pake jasa Busway yg katanya suatu sistem transportasi baru untuk mengatasi masalah klasik ibukota. Percaya gk percaya, ini pertama kalinya aku naik Busway setelah kurang lebih 6 bulan tinggal di ibukota. Yap, cuma dengan 3500 perak.

Kita mulai antre. Lumayan rame, karena itu hari Minggu.
Kurang lebih 15 menit kita nunggu, akhirnya ada Bus kosong yg berhenti. Karena rame, gue agak parno sendiri kalo misalnya di antara kita berlima ada yg kepisah. Gak lucu! Maka dari itu, kita berlima mesti keep in touch each other *hueeek.
Dan parno gue kayaknya bener-bener kejadian. Si Tince, bulu wannabe yg kita punya dan satu-satunya di Cempi, hampir aja gk bisa masuk Bus. Tapi karena dia bule dan dia bonek (apa hubungannya?) dia akhirnya bisa masuk. Tapi...
"BEGO LO!!"
Yak, sebuah kalimat yg (gak) manis terlontar dari mbak-mbak yg gak manis juga. Apaan sih nih mbak? Gak bisa sante aja napa? Namanya juga di halte, mesti lah lo kesenggol, mau sepi? Ya naik mobil pribadi aja.
Otomatis, si bule Tince jadi penumpang terakhir yg naik ke Bus. Dan waktu pintu bus nutup, gue agak kaget juga sama Afgan KW 13 ini.
"COOOK!!"
Huakakakakkk.. otomatis aku yo ngguyu. Sumpah lucu soro, aku kaget gitu lho yaa dia ngeluarin jimatnya arek Suroboyo. Padahal yg kena semprot kan Tince. Selidik kena selidik, ternyata sejak di halte, Afgan gak jadi itu udah kesel duluan sama si mbak BEGOKLO ituu. Kecentilan katanya sih, gk mau disenggol.

Yah. Lupakan soal mbak BEGOKLO.

Intinya, kita sampe di Bunderan HI. ya namanya orang udik yg baru ini ke Jakarta, the real Jakarta i mean, langsung heboh gila.
"Woiii, kita sampe bunderan HI!!"
*mau ngakak boleh, ketawa guling-guling juga boleh.
LoL.
Dan tebak sendiri gimana kelanjutannya, lo pasti tau deh.

Alhasil, kita berlima berhasil menginjakkan kaki di Grand Indonesia. Buat kita berempat, except Afgan KW 13, ini pertama kalinya buat kita ke mall paling mewah di Jakarta. *udik banget ya --a

Kita langsung masuk ke west mall karena tujuan utama kita, Magnum Cafe yang ada di level 5.

Kesan pertama gue setelah melihat TKP secara langsung adalah:
"ANJIRR RAME GILAK GAK SANTE BANGET ANTREANNYA"

Tapi yaa.. Masa udah jauh-jauh kesana, tapi gak jadi ngicipin Magnum Cafe yg cuma ada sampe Mei doang. Oke lah kita nekat antre!! Fight fight fight!! :D

Malaikat Kecilku

Halo.
Lama gak nulis. Lama gak mencurahkan isi hati.
Lagi sibuk. Sibuk kuliah lagi setelah melewatkan tiga minggu di Surabaya :) yap, libur semester satu. Alhamdulillah semester satu terlewatkan dengan nlai yang cukup baik.
Thanks God, I'm nothing without You.


Di Surabaya. Senang, bisa ketemu keluarga lagi. Senang bisa ketemu adekku, salah satu alasan kenapa aku mesti berjuang banget di sini. Iya, dia motivasiku :)
Waktu tiga minggu kulewatkan dengan menjadi guru privat Eki. Ngerti kan, selama aku di Jakarta, Eki cuma bisa belajar sendiri dan belajar dari bimbingan belajar yang dia ikuti. Itu kadang-kadang kurang juga melihat pelajaran SMP yang beda jauh dari jamanku dulu.


Dan sekarang kembali lagi ke kehidupan anak kos. Jauh dari Eki lagi.


Gimana ya.. Rasanya gak tega ninggalin Eki. Meskipun dia cowok, dia belum cukup kuat menanggung beban itu sendiri. Dibandingkan dengan aku yang seorang cewek, dia jauh. Dia belum bisa.
Kadang aku mikir, aku takut dia terbebani dan gak ada tempat buat cerita. Apalagi sebentar lagi ujian-ujian datang siap menghadang.


Hmm, Ya Allah..


Aku cuma minta satu, kuatkanlah dia, teguhkanlah imannya. Agar dia tetap berdiri dan berjalan untuk menggapai citanya.


Allah yg baik.. 


Tenangkanlah bocah kecil yg sedang tidur di ujung timur sana.
Jagalah dia dlm stiap langkahnya
lindungi dia dalam setiap perbuatannya
Kuatkanlah dia dalam setiap tangisnya
Percayakan dia dalam ketakutannya. 
Aku tahu dia mampu, amin.