Siang itu di dalam kamar..

"Puteri, sekarang Jakarta gerimis, cepat sekali berubah, kayak hati. Semoga pengertian, mau saling mengalah, saling menghargai, saling menjaga, komunikasi yang baik, dan tentu saja yang paling penting pemahaman agama yang baik menyertai rasa sayang. Biar abadi sayangnya. Tidak seperti cuaca."

Tere Liye dalam Rembulan Tenggelam di Wajahmu (via kuntawiaji)

It's Not A Funny Story

Menemukan sebuah artikel yang ditulis sendiri oleh saya kira-kira setahun yang lalu. Artikel yang saya tulis ini dalam rangka memenuhi tugas ospek di Universitas Airlangga. Absurd. Ketika pada waktu itu saya telah menetapkan hati untuk hijrah ke ibukota demi melanjutkan pendidikan. Dengan kata lain, saya ikut ospek di kampus tersebut hanya karena iseng, cari teman baru dan selebihnya mengisi waktu luang sebelum saya berangkat meninggalkan Surabaya.
Artikel tersebut saya baca ulang. Cukup menarik, saya sendiri lupa bagaimana bisa saya menemukan ide yang cukup apik untuk menulis artikel tersebut. Terheran sendiri. Tak lupa saya cantumkan cuplikan lagu di akhir artikel yang saya tulis. Sebuah lagu yang cukup fenomenal bagi yang sering mengikuti paduan suara.



Winda Ayu Nugraini
041013244
Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Dari Kami Untuk Negeri

Tak ada kata yang pantas diucapkan pada negeri ini selain kata “Terimakasih”. Memang hanya itulah kata yang pantas diucapkan pada negeri tercinta ini Indonesia, karena Indonesia telah memberi sangat banyak kepada kita. Tanah yang subur, kekayaan alam yang berlimpah, hasil laut yang tiada duanya dan sumber bumi lainnya yang nilainya tak dapat ditukar dengan mata uang manapun. Selain itu, kita juga mendapat pendidikan yang berharga dari DIA, kehidupan yang aman, nyaman tanpa gangguan, keadilan yang dengan mudah kita perjuangkan, dan keadaan ekonomi yang membuat hidup kita semakin senantiasa indahnya.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kini mulai muncul ucapan “terimakasih-terimakasih yang lain” terhadap negeri ini.. Yang lain? Ya, contohnya, terimakasih korupsi, terimakasih kemiskinan, terimakasih kebodohan, terimakasih degradasi moral, dan ucapan terimakasih lainnya yang tak kalah “indahnya”. Apakah DIA yang kita puji-puji boleh merasa bangga dengan ucapan yang kita lontarkan padanya. Tentu saja tidak. Itu sama sekali bukan pujian, melainkan rintihan, keluhan  yang meminta DIA untuk “kembali” pada kondisi sebelumnya. Namun apa? Apa yang terjadi pada DIA yang melibatkan kita di dalamnya? Ya, kami, negeri Indonesia ini semakin terpuruk saja. Entah siapa yang salah, karena masing-masing pihak saling menyalahkan satu sama lain. Miris.
Heran. Ya, heran. Kita merasa heran dengan tingkah laku “orang-orang besar” di negeri ini. Mereka bukannya prihatin dan segera mengambil tindakan untuk memulihkan keadaan negeri. Tetapi, seakan-akan mereka malah seperti memanfaatkan keadaan ini untuk kepentingan mereka sendiri. Kami marah. Kami marah ketika melihat tingkah mereka yang seperti anak kecil berebut kekuasaan, berkoar-koar mengumbar janji yang tak ayal hanyalah omong belaka. Mereka sama sekali tidak malu. Tertidur saat sidang, bermain BB, bahkan membuka sidang sendiri bersama rekan-rekan lainnya.
Di bidang pendidikan bahkan tak kalah memprihatinkan pula. Ribuan anak-anak Indonesia sekolah di bawah gedung yang tak beratap, gedung yang tak bertembok, bahkan ada yang belajar dalam keadaan berdiri. Hal itu akan menjadi salah satu factor pendukung mengapa begitu banyak anak yang putus sekolah. Tidak heran kan?? Padahal sebenarnya kami tidak bodoh, kami tidak terbelakang. Hanya saja keadaanlah yang membuat kami seperti ini. Banyak anak bangsa yang berhasil menorehkan tinta emas untuk negeri ini. Banyak anak bangsa yang berhasil  menciptakan berbagai karya yang patut diacungi jempol.
Kemiskinan seakan-akan semakin melengkapi penderitaan yang dialami oleh bangsa kita. Negara kita sudah 65 tahun merdeka dari penjajahan bangsa colonial, namun tingkat ekonomi kita masih kalah jika dibandingkan dengan Negara-negara yang umurnya jauh lebih muda dan wilayahnya hanya seperberapa bagian dari Negara kita. Harga bahan pokok yang semakin mahal, angka pengangguran yang semakin memuncak membuat kebanyakan rakyat kecil mengadu nasib ke negeri tetangga guna untuk mendapat pekerjaan yang layak. Bukannya lucu sekali ya?? Negara yang penduduknya malah “minggat” ke negara lain untuk bekerja, membuat kesan seperti negara tidak bisa memekerjakan mereka.

Lalu, apa ya yang membuat negeri kita menjadi seperti ini?
Hmm, sepertinya kita tidak perlu susah-susah untuk mencari jawabannya. Karena bukan jawabanlah yang harus kita cari saat ini, namun solusi. Solusi lah yang pantas kita cari sekarang sebagai generasi penerus bangsa. Inilah saat yang tepat bagi kita untuk membalas apa yang telah diberikan oleh negeri ini kepada kita, ya inilah saatnya.
Namun bagaimana? Kami masih pelajar, kami masih mahasiswa, dan tugas kami hanyalah belajar. Memang benar, kita masih pelajar, kita masih mahasiswa, dan tugas kita adalah belajar. Namun bukan berarti kita hanya diam saja meratapi nasib negeri yang semakin lama semakin tak jelas arahnya. Justru kitalah yang memegang kunci dari setiap gembok permasalahan yang dihadapi negeri ini.
Kira-kira, hal apa yang harus kita lakukan pertama kali? Tentu saja kita tidak melepaskan kewajiban kita sebagai seorang pelajar, seorang mahasiswa. Justru di usia yang produktif seperti kita inilah kesempatan untuk menuntut ilmu sangat terbuka lebar. Seperti kata pepatah “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Jangan pernah malu untuk bertanya, jangan pernah takut untuk menjawab. Ya, benar. Selagi kita muda, selagi kita masih sempat, galilah ilmu pengetahuan sebanyak yang kita mampu. Karena apa, itulah modal yang paling utama bagi kita untuk memperbaiki negeri kita ini. Tetapi, tentu saja hampa rasanya bila otak kita hanya dipenuhi oleh ilmu pengetahuan dan  rumus-rumus hapalan. Jenuh. Kita perlu mengukur kemampuan kita dengan para pejuang lainnya. Dengan mengikuti perlombaan seperti olimpiade, lomba debat, lomba di bidang budaya maupun seni, kita dapat menunjukkan kemampuan kita. Apalagi bila kita dapat menorehkan prestasi hingga ke tingkat dunia. Sungguh bangga bukan? Ini lho, kami anak-anak Indonesia, kami bisa.. Seperti yang diraih adik-adik kita yang masih duduk di bangku SD beberapa pecan lalu. Mereka berhasil menggondol 3 emas dalam kejuaraan Olimpiade Matematika di Singapore. Hebat bukan anak bangsa ini?
Lalu, apa lagi yang dapat kita berikan untuk negeri kita? Di usia kita yang masih muda ini, tentu saja masih sedikit ilmu yang kita dapat. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu kepemimpinan, ilmu keorganisasian. Dua hal itu sangat penting sekali dalam mengasah ujung tombak kita yang akan kita pergunakan untuk “perang”. Nantinya toh kita yang akan menggantikan posisi “mereka orang-orang besar”. Agar kita tidak seperti mereka, maka mulai sekarang belajarlah untuk benar-benar mengenali negeri ini, mencintai negeri ini. Namun, bagaimana bila godaan dan gangguan tak berhenti menerjang bila kita nanti sudah menjadi “orang besar”? Hmmm, kembali ke diri kita masing-masing. Ingatlah apa yang telah negara berikan untuk negara, sedangkan apa yang telah kita lakukan untuk negara? Belum kan?
Oleh karena itu, maka dari sekarang mari kita sama-sama belajar demi pembangunan negeri kita tercinta ini Indonesia..
***
Sinar mentari cantik berseri
Ada bangga lekat di hati
Semoga lestari semoga abadi
Doa kami dari anak negeri
Puji dan syukur kami berikan
Negeri ini tentram sentosa
Bangunlah semua satukan cita
‘tuk negeri tercinta Indonesia…
(Doa Anak Negeri)
You must think twice before you said it to me, dear Princess in your own Wonderland. Grow up, please.