Aku tidak tahu waktu itu aku sedang berada dimana. Tapi aku bisa menggambarkan keadaan di sekelilingku waktu itu, ya, waktu itu. Beberapa kelompok manusia sedang berlalu-lalang, berjalan, berbincang satu sama lain, menenteng barang bawaan mereka yang sepertinya terlihat cukup berat. Sesekali mereka melepas tawa tanpa peduli menimbulkan bising di sekitarnya ketika ada salah satu di antara mereka yang melontarkan cerita lucu. Sesekali satu di antara mereka mencubit bahkan memukul keras pundak lainnya karena terlalu keras suara tawanya. Tanpa pedulu keadaan sekitarnya. Sepertinya mereka akan bepergian jauh dan sepertinya akan menjadi perjalanan yang cukup menyenangkan bagi mereka. Tapi tetap saja, aku masih belum mengerti, apa nama tempat dimana kakiku kupijakkan sekarang. Matahari mulai tidak malu memperlihatkan hampir semua auratnya ketika aku melihat dua anak kecil berpakaian lusuh, dekil dengan kaleng berdiameter sedang di kedua tangannya. Oh, mereka pengemis jalanan rupanya. Setelah ditolak mentah-mentah oleh seorang bapak tua dengan jenggot putih dan cerutu di tangan kanannya, dua anak kecil itu kemudian terduduk lesu, bersandar di tembok bangunan yang kelihatannya telah berumur lebih dari dua kali umurku. Aku merogoh kedua saku di celanaku dan tidak dapat menemukan apa-apa, ucapan maaf terlontar begitu saja dalam hati ini. Dan aku masih belum bisa menemukan, dimana aku sekarang ketika aku baru saja menyadari bahwa aku sedang berada di stasiun kereta. Oh pantas ramai sekali. Kutengok kanan, kemudian kiri, kemudian belakang. Maju beberapa langkah, mencari-cari orang yang bisa aku kenal. Aku hampir saja putus asa waktu itu dan kurebahkan saja badanku di sebuah kursi kayu tua yang tampaknya sudah mulai reyot. Diam. Diam dalam keramaian sebuah stasiun kereta. Dan pada akhirnya aku merasa bahwa seseorang sedang menduduki kursi kayu tua di ujung lainnya.
"Hei, sedang apa kamu di sini? Kau membuntutiku ya?", aku menemukan seorang laki-laki yang aku kenal sedang mengajakku bicara tiba-tiba.
"Bagaimana kau datang?"
"Jangan bohong, kau mengikutiku kan?"
Kemudian aku terdiam dan teringat. Semalam aku memutuskan untuk pergi ke kota ini untuk bertemu dengan dia, dia yang sedang berada di ujung lain kursi tua ini.
"Lebih baik kau balik saja, sini kubelikan tiket balik kalau kau mau, sepertinya kamu nggak membawa apa-apa kesini, kau kacau banget sih?"
Aku tersadar bahwa aku tidak membawa barang satupun malam itu, bodoh.
"Tidak, aku di sini saja, ada kamu."
"Aku? Aku sudah menetapkan untuk tinggal di sini, kota ini, aku suka sekali dengan kota ini."
"Bukannya kamu pernah bilang jangan sekalipun mengungkit kota ini di depan kedua matamu? Bukannya kamju pernah bilang jangan sekalipun mengungkit satupun kenanganmu di kota ini?", aku sedikit memberikan intonasi pada ucapanku barusan ini dan ketika mataku tiba-tiba menemukan plang yang bertuliskan kota ini.
"Itu dulu, aku sudah berubah pikiran, aku sudah memutuskan", itu kata-kata terakhir yang aku dengar dari seorang dia.
Jantungku mencelos. Dia bukan dia yang biasanya aku kenal, apakah aku salah orang?
Aku melanjutkan langkahku keluar menuju bangunan tua yang kemudian berpapasan dengan seorang kakek rua menggenggam erat jemari wanita di sebelahnya. Aku kembali tidak mengerti dimana aku berada, yang aku tahu hanyalah berjalan dan berjalan. Mungkin aku tak perlu lagi memerdulikan keadaan di sekitarku, mungkin aku tak perlu lagi memberikan kepercayaan berlebih pada seseorang, mungkin aku, mungkin aku..
Dan aku masih terus berjalan..