Sore ini semacam random yang saya alami di hari keempat Ramadhan. Gelas hijau yang terisi penuh air; Blackberry di sebelahnya; bunyi kipas angin yang memenuhi kamar; sepi, sendiri. Ujian akhir telah selesai, ditutup dengan manis oleh mata kuliah SISMIOP yang hanya membutuhkan waktu kurang lebih 50 menit; ujian tercepat sepanjang sejarah perkuliahan saya. Hutang tidur pun telah lunas, setelah kurang lebih selama dua pekan, waktu tidur malam saya terganggu.
Lima belas menit yang lalu, Ibu menelepon. Saya rindu padanya, rindu pelukannya. Namun percakapan kami terputus oleh Adzan Magrib yang berkumandang di ujung telepon sana. Beliau berjanji untuk segera menghubungi saya lagi nanti.
Klasik. Seperti yang banyak dikatakan oleh orang, Ibu adalah wanita paling berjasa dalam hidup kita. Dan saya mengakuinya. Beliau selalu mengajarkan pada saya bagaimana cara bertahan hidup; menyongsong hidup; membawa hidup bersama kita lebih tepatnya. Beliaulah orang pertama yang mengajarkan kepada saya untuk tidak menangis hanya karena lelaki; yang sering terjadi di kalangan remaja-remaja wanita yang baru saja dicampakkan oleh pujaan hatinya. Karena menurut pendapat Beliau, toh masih banyak lelaki yang mau denganmu dan tentu saja tidak tega untuk membuatmu menangis. Itu favorit saya.
Dari hal yang paling kecil pun, seperti cara berpakaian. Ibu selalu mengomel ketika hanya memakai sandal jepit saja atau memakai baju serampangan sebelum keluar dari rumah.
Dan yang paling penting adalah, Ibu mengajarkan saya bagaimana cara untuk bertahan hidup. Bagaimana cara melawan orang-orang yang bertindak tidak adil kepada saya. dialah guru terbesar saya dalam hidup.
Dan sekarang, gelas hijau yang masih penuh isinya; bunyi kipas angin yang masih memenuhi ruangan; menanti Blackberry ini berdering, kabar dari ujung sana.
No comments:
Post a Comment